RSS Subscription

Subscribe via RSS reader:
Subscribe via Email Address:
 

ANCAMAN KRISIS DAN IKHTIAR SISTEMIS KPU DALAM PENGEMBANGAN DEMOKRASI ELEKTORAL-FORMAL

Posted By Kang Oyot On 14.35 1 komentar
ANCAMAN KRISIS DAN IKHTIAR SISTEMIS KPU DALAM
PENGEMBANGAN DEMOKRASI ELEKTORAL-FORMAL *

Joko J. Prihatmoko**



Pemilu dipandang sebagai tolok ukur demokrasi. Keyakinan kuat pada pemilu sebagai ukuran utama demokrasi didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, pemilu merupakan proses terbaik dibanding, misalnya, sistem karir dan penunjukkan/pengangkatan, untuk menentukan pemimpin politik. Kedua, pemilu memungkinkan pergantian kekuasaan secara berkala dan membuka akses bagi aktoraktor baru masuk dalam arena kekuasaan. Ketiga, pemilu memungkinkan partisipasi rakyat untuk menentukan pemimpin sesuai dengan kehendak mereka.

Tapi keyakinan yang berlebihan terhadap pemilu justru bisa menjadi jebakan yang menyesatkan. Tanpa penghayatan demokrasi dari kalangan politisi, pemilu hanya merupakan sebuah proses “demokrasi berkala” untuk membentuk demokrasi elektoral-formal1: dalam proses itu, rakyat hanya bisa memberikan pilihan (voting) dalam ritual limatahunan. Tanpa terobosan dalam penerapan sistem –dengan segala elemen teknisnya, pemilu hanyalah proyek politik demokrasi elektoral-formal semata-mata yang tidak berimplikasi dan memiliki manfaat bagi rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat yang dimaksud adalah kinerja wakil rakyat di
lembaga perwakilan dan eksekutif yang berpihak pada kepentingan rakyat sehingga menjembatani kesenjangan antara politik formal (formal politics) hasil proses elektoral dengan politik sehari-hari (everyday life politics).



Politik Sistem Pemilu
Secara umum, terdapat empat rumpun keluarga di dalam sistem pemilu, yaitu  sistem pluralitas/mayoritas (plurality/majority system), sistem perwakilan proporsional (proportional representation system), sistem campuran (mixed system), dan sistem-sistem yang lain (other systems).2 Masing-masing rumpun memiliki varian-varian. Masing-masing varian di dalam sistem memiliki konsekuensikonsekuensi, khususnya berkaitan dengan tingkat keterwakilan dan hubungan (relasi) antara wakil dan terwakil. Sistem proporsional, misalnya, menghasilkan tingkat keterwakilan yang cukup tinggi. Partai-partai politik yang bersaing dalam pemilu, termasuk partai-partai kecil, dimungkinkan memiliki wakil di lembaga perwakilan (DPR/DPRD). Meskipun demikian, relasi antara wakil dan terwakil kurang kuat. Sementara, di dalam sistem pluralitas/mayoritas –di Indonesia dikenal dengan sistem distrik, derajat keterwakilannya lebih rendah karena sistem ini menggunakan prinsip winner take all untuk varian single member district (SMD). Konsekuensinya, hanya partai atau kelompok besar saja yang dimungkinkan menempatkan wakil-wakilnya di lembaga perwakilan. Hanya saja, di dalam sistem ini dimungkinkan relasi antara wakil dan terwakil yang lebih erat.3 Kajian terbaru tentang pemilu melahirkan konsep yang disebut dengan the politics of electoral system.4 Pada prinsipnya, sistem pemilu merupakan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) yang secara operasional dilakukan dengan instrumen-instrumen berupa elemen-elemen teknis, seperti jenis pencalonan kontestan, metode pencoblosan, pemetaan daerah pemilih (constituency/district), dan metode penghitungan suara.5 Sebagaimana sistem pemilu, pilihan terhadap elemen teknis akan berimplikasi pada hasil pemilu tertentu pula. Pemetaan daerah pemilihan, misalnya, sistem proporsional dengan besaran 2-4 kursi setiap daerah pemilihan akan menghasilkan distribusi kursi yang nyaris sama atau sama persis dari distribusi kursi pemilu sistem pluralitas/mayoritas varian multi member district (MMD). Dalam kaitan hal tersebut, suatu pemilu dapat sungguh-sungguh dikatakan demokratis apabila memenuhi tiga kriteria, yakni (1) keterbukaan; (2) ketepatan; dan (3) efektivitas. Terbuka berarti pemilu harus bersifat terbuka bagi setiap warga negara. Prinsip itu dikenal dengan hak memilih universal (universal suffrage). Ketepatan mengandung arti bahwa segala proses yang berkaitan dengan pemilu, mulai dari pendaftaran partai peserta pemilu, verifikasi partai politik, kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, sampai penghitungan suara, harus dilakukan secara tepat dan proporsional. Semua yang terlibat dalam pemilu harus mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Efektivitas berarti jabatan politik harus diisi semata-mata melalui pemilu, tidak dengan cara-cara lain, seperti pengangkatan/penunjukkan.6 Sedangkan misi (mission) pemilu diukur dari enam indikator, yakni (1) keterwakilan; (2) konsentrasi; (3) efektivitas; (4) partisipasi; (5) kemudahan atau ketidakrumitan; dan (6) legitimasi. Keterwakilan berarti keterwakilan bagi seluruh kelompok masyarakat; keadilan yang mencerminkan kekuatan kepentingan dan politik masyarakat dalam lembaga perwakilan; dan derajat pengaruh rakyat dalam mempengaruhi proses penentuan calon dan tingkatan jalinan hubungan antara terwakil dan wakil. Konsentrasi mengandung arti agregasi kepentingan masyarakat dan pandangan politik guna memperoleh kemampuan bertindak suatu pemerintahan. Konsentrasi juga merupakan pemudahan pembentukan mayoritas dan mendukung pembentukan sistem kepartaian yang mapan.

Efektivitas dimaksudkan percepatan terciptanya stabilitas sistem pemilu. Partisipasi berarti pemberian peluang kepada pemilih untuk menggarisbawahi kehendak politiknya dengan cara dapat memilih partai maupun individu. Kemudahan dimaksudkan pemilu dapat dilakukan oleh pemilih rata-rata tanpa menemui kesulitan.
Legitimasi diartikan bahwa hasil pemilu dan sistem pemilu dapat diterima.7 Refleksi Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 Dalam konteks the politics of electoral system, Pemilu 2004 dan 2009 menggabungkan dimensi-dimensi dalam sistem proporsional dan sistem pluralitas/mayoritas. Antara lain ditunjukkan dengan penggunaan daerah pemilihan dengan besaran (district magnitude) yang lebih kecil8 serta penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut9, Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP),10 dan suara terbesar.11 Ketentuan itu untuk mencapai dua hal sekaligus, yaitu adanya sistem perwakilan yang menganut prinsip proporsionalitas dan keinginan bagi terbangunnya hubungan yang lebih baik antara wakil dan terwakil. Kenyataannya, Pemilu 2004 yang diikuti 24 partai politik itu menghasilkan fungsi keterwakilan12 yang cukup baik. Dengan rumus Arend Lijphart (1999), diperoleh deviasi proporsionalitas sebesar 2,4 persen dan indeks disproporsionalitas sebesar 0,7. Namun keterwakilan itu kurang berkeadilan yang ditunjukkan dengan tidak tercapainya prinsip one person one vote one value (OPOVOV) akibat perbedaan atau selisih jumlah penduduk untuk menetapkan alokasi kursi (kuota).13 Sedang fungsi integrasi Pemilu 2004 tidak terlalu baik. Dengan rumus Maurice Duverger (1980), dihasilkan efek mekanis 1,2207, indeks non-representasi 23,34 persen, dan indeks ketahanan partai 177 bulan. Hasil itu mengindikasikan sistem pemilu kurang berkonsentrasi pada sistem kepartaian.14 Jumlah efektif partai politik peserta pemilu terlalu besar dibanding jumlah efektif partai politik di DPR. Hal itu mendorong proliferasi sistem kepartaian pluralitas ekstrem –pinjam istilah Croissant dan Merkel (2001). Masing-masing partai politik bisa berinteraksi tapi gagal berintegrasi. Artinya, kapasitas sistem pemilu lemah dalam memantapkan sistem kepartaian.15 Hasil yang paling memprihatinkan adalah bahwa pemilu hanya menghasilkan 0,36 persen mandatori bagi rakyat (mandatory) dan 99,64 persen wakil rakyat di DPR (representavive). Jelasnya, dari sejumlah 550 kursi DPR, hanya 2 orang atau 0,36 persen yang berhasil terpilih melalui BPP. Sisanya, sebanyak 548 orang atau 99,64 persen terpilih berdasarkan nomor urut daftar calon. Mereka terpilih melalui BPP, yakni Hidayat Nurwahid dan Saleh Djasit.16 Dalam makalah ini dibedakan secara mendasar antara mandatori bagi rakyat dan wakil rakyat. Mandatori menempatkan pemilih sebagai pendukung (constituent) yang harus dijunjung tinggi martabat dan kehormatan, serta diperjuangkan aspirasinya. Seorang mandatori memiliki tanggungjawab dan ikatan yang sangat kuat dengan konstituennya. Sedangkan wakil rakyat memposisikan pemilih sebagai bilangan angka untuk meraih kursi lembaga  perwakilan. Ikatan antara wakil rakyat dan pemilih sangat longgar. Baik mandatori maupun wakil rakyat adalah anggota legislatif. Dalam Pemilu 2009, selain terhadap formula penetapan calon terpilih, tidak ada perubahan penting elemen-elemen teknisnya. Perubahan formula penetapan calon terpilih mendorong peningkatan kompetisi antarcalon legislatif dan perubahan pola pendekatan calon/partai terhadap pemilih. Tapi tidak memiliki pengaruh mendasar terhadap hasil pemilu sehingga dapat diduga bahwa fungsi-fungsi pemilu (keterwakilan, integrasi dan mayoritas) tidak mengalami perubahan besar. Sebaliknya, dengan munculnya fenomena bosisme17 dalam pemilu legislatif di tingkat lokal fungsi integrasi dan kepemerintahan (governability) berpotensi menghadapi persoalan serius. Kecenderungan dan Pola Rekrutmen Bermasalah Hasil tersebut di atas, yakni kesenjangan rasio antara mandatori dan wakil rakyat, mengindikasikan bahwa hubungan antara wakil dan terwakil di lembaga perwakilan sangat renggang dan akuntabilitas lembaga perwakilan sangat rendah. Penyebab utama persoalan tersebut adalah rekrutmen politik yang bermasalah.
Beberapa penelitian tentang rekrutmen anggota legislatif Pemilu 2004 dan 2009 menemukan kecenderungan dan pola yang menjauhkan pemilu dari nilai-nilai demokrasi. Pertama, proses rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan partisipatif. Sejumlah partai politik besar memang telah menyusun pedoman rekrutmen calon (penjaringan, penyaringan, dan penetapan dalam daftar berikut nomor urut) tetapi sekelompok kecil elite partai politik begitu dominan dan berpengaruh dalam menentukan nomor urut atau nominasi dalam daftar calon.18 Masyarakat tidak bisa ikut menentukan siapa saja yang berhak duduk dalam daftar calon karena hal itu merupakan otoritas penuh partai politik. Masyarakat seakan dipaksa “membeli kucing dalam karung”.19 Akibatnya, calon sama sekali tidak memiliki kepekaan terhadap nasib konstituen karena dia merasa hanya “mewakili” daerah administratif, bukan konstituen yang sebenarnya, yang berakibat upaya membangun akuntabilitas dan responsivitas menjadi sangat lemah. Kedua, dalam proses rekrutmen tidak ada relasi antara partai politik dan masyarakat sipil.20 Masyarakat sipil (civil society) hadir sebatas sebagai bilangan angka, bukan layaknya konstituen yang harus dihormati dan diperjuangkan aspirasinya. Pada saat bersamaan berbagai organisasi masyarakat berperan sebagai underbouw, mesin politik yang bertugas sekedar memobilisasi massa, bukan sebagai basis perjuangan politik partai. Di mata aktivis organisasi masyarakat, partai politik bukanlah bagian dari gerakan sosial untuk mempengaruhi kebijakan dan mengontrol negara, namun tidak lebih sebuah “kendaraan politik” pihak tertentu untuk meraih kekuasaan dan kekayaan. Anggota legislatif berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bukan pada misi perjuangan yang berupaya  pemberdayakan rakyat sehingga pada saat duduk di lembaga perwakilan, mereka melupakan massa yang menjadi basis dukungannya. Ketiga, dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan “asal comot” terhadap calon yang dipandang sebagai “mesin politik” atau “anjungan tunai mandiri” (ATM). Hal itu cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan. Partai politik dengan segala kelebihannya mencomot mantan tentara dan pejabat, ulama (yang selama ini menjadi penjaga moral), intelektual dan akademisi yang haus kekuasaan dan mendambakan mobilitas vertikal.21
Keempat, proses kampanye (sebagai bagian dari mekanisme rekrutmen) jauh  dari upaya pengembangan ruang publik yang demokratis, dialog terbuka, dan sebagai upaya membuat kontrak sosial untuk membangun visi bersama, melainkan hanya sebagai ajang unjuk kekuatan dan obral janji. Bagi para pendukung partai politik, kampanye menjadi ajang pesta dan arena untuk menyalurkan ekspresi identitas yang di mata sebagian orang tampak kurang beradab. Tak heran jika rata-rata jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih (voters turn-out) cukup besar untuk ukuran pemilu di negara demokrasi baru. Sebagian terbesar mereka adalah pemilih rasional dan pemilih kritis yang termasuk kategori problem solving oriented, serta pemilih skeptis yang tidak memiliki orientasi pada ideologi dan visi-misi atau program kerja kontestan.22
Kelima, pemilu dan proses rekrutmen dikerjakan di tengah struktur “massa mengambang” yang kurang terdidik dan kritis. Dalam waktu lama masyarakat tidak memperoleh pendidikan politik yang sehat sehingga jutaan pemilih yang ada rentan terhadap praktik-praktik mobilisasi. Kampanye-kampanye partai politik mengandalkan pertemuan-pertemuan yang melibatkan banyak massa dengan dentuman musik hiburan dan raungan kendaraan bermotor yang acapkali memekakkan telinga.23 Meski saat ini merupakan era keterbukaan, bukan berarti pendidikan politik menjadi agenda utama partai-partai politik. Akibatnya, budaya politik yang partisipatif belum terbangun. Kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya proses rekrutmen secara terbuka dan partisipatif. Keenam, sistem pemilu proporsional telah melanggengkan budaya oligarki.
Elite partai politik di daerah menjadi sangat berkuasa dalam proses rekrutmen, yakni menentukan siapa yang memperoleh “nomor topi” dan yang mendapatkan “nomor sepatu”. Praktik oligarki itu cenderung memelihara kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang sangat tertutup. Alih-alih menghasilkan legislatif yang representatif dan mandatori, situasi itu hanya akan memunculkan legislatif bertipe partisan yang lebih loyal kepada partai politik.

Upaya Peningkatan Demokrasi

Demokrasi elektoral-formal terancam krisis ketika pemilu telah dianggap sebagai ritual limatahunan sekadar untuk mengganti pejabat publik dan bukan memilih kepemimpinan baru. Untuk menyelamatkan demokrasi atau sekurangnya mengerem pendalaman krisis demokrasi elektoral-formal, perlu didorong lahirnya banyak mandatori-mandatori rakyat dengan berbagai upaya dan langkah yang melibatkan yang secara aktif  stakeholders pemilu, seperti partai politik, penyelenggara pemilu, dan sebagainya. Pertama,  mendemokratiskan rekrutmen politik. Partai politik harus membuka ruang partisipasi publik,24 menjauhkan oligarki dalam proses seleksi dan nominasi, memberi ruang bagi masyarakat sipil,25 tidak “asal comot” dengan menjadikan pensiunan tentara, pejabat, ulama, dan tokoh masyarakat sebagai “mesin politik” dan “ATM”, dan melakukan pendidikan politik yang memadai.26 Kedua, memperlebar akses sistem bagi lahirnya mandatori rakyat. Dalam kaitan itu, ada dua hal penting yang dapat dilakukan sebagai terobosan bagi penyelenggara pemilu. Di satu sisi, mempersempit besaran daerah pemilihan (district magnitude).
Sistem proporsional daftar terbuka dengan besaran daerah pemilihan kecil, 2 sampai 4 kursi per daerah pemilihan, akan memberikan hasil yang nyaris sama atau bahkan sama dengan sistem pluralitas/mayoritas berwakil banyak (multi member district). Di sisi lain, mendesain pendidikan politik dengan sasaran peningkatan jumlah pemilih rasional, misalnya dengan mengumumkan riwayat hidup, mengumumkan Daftar Pemilih Sementara (DPS), menyebarkan program kerja dan visi-misi masing-masing calon dalam ruang waktu yang cukup, dan sebagainya.

Peran Komisi Pemilihan Umum

Pemilu memiliki tiga dimensi utama, yakni electoral law, electoral process, electoral law enforcement. Fungsi atau peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu adalah mengawal dan melaksanakan ketiga dimensi tersebut. Atas dasar itu kemudian dirumuskan tugas, wewenang dan kewajiban dalam penyelenggaraan pemilu.27 Dalam konteks itu, peran KPU pada Pemilu 2004 sangat besar. KPU
bertanggungjawab penuh terhadap electoral law, electoral process, electoral law enforcement sehingga dikenal sebagai lembaga super body.28 Dalam hal electoral law, KPU menyusun berbagai regulasi (peraturan dan ketetapan) terkait elemen-elemen teknis pemilu mulai dari pencalonan, penetapan daerah pemilihan, dan penetapan calon terpilih. Dalam hal electoral law enforcement, KPU menjalankan seluruh regulasi yang dibaut sendiri dengan dibantu oleh Panitia Pengawas (Panwas) yang berfungsi mengawasi proses dan pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu, sejak pendaftaran pemilih sampai penetapan hasil pemilu. Peran KPU pada Pemilu 2009 lebih terbatas karena tugas, fungsi dan kewajiban yang dijalankan sebelumnya telah ditentukan dalam UU No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif dan UU No.22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Peran KPU
dioptimalkan pada dimensi electoral process yakni melaksanakan tahapan-tahapan pemilu.29
Dengan penciutan tugas, wewenang dan tanggungjawab tersebut logikanya peran KPU bisa lebih optimal. KPU bisa lebih berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teknis tanpa harus memikirkan membuat regulasi. Tetapi karena regulasi ditentukan oleh DPR atau Mahkamah Konstitusi (MK) dengan waktu kelahiran yang
kurang sejalan dengan kebutuhan pelaksanaan, persoalan yang muncul di permukaan menjadi terlihat kompleks. Apalagi sistem sacara umum sistem pemilu sekarang lebih rumit daripada sebelumnya.
Dalam konteks bahwa pemilu sebaiknya melahirkan fungsi-fungsi yang semakin baik maka peningkatan peran KPU seharusnya diarahkan pada ikhtiar sistemis pengembangan demokrasi elektoral-formal. Artinya, KPU dapat mengoptimalkan pelaksanaan setiap tahapan yang terfokus pada peningkatan kemelekan politik (political literacy) masyarakat. Pertama, melakukan verifikasi administratif dan faktual terhadap partai politik calon peserta pemilu dengan sungguh-sungguh (objektif, akurat, dan terukur) sehingga menghasilkan partai politik peserta pemilu yang benar-benar memiliki kepengurusan dan basis pendukung riil di masyarakat.
Kedua, mendesain dan melakukan sosialisasi pemilu berbasis pendidikan politik dengan sasaran peningkatan jumlah pemilih rasional, misalnya dengan mengumumkan riwayat hidup calon, mengumumkan daftar pemilih sementara (DPS), menyebarkan program kerja dan visi-misi masing-masing calon dalam ruang waktu yang cukup, dan sebagainya. Ketiga, mendesain dan memfasilitasi pelaksanaan kampanye yang berbasis pendidikan politik dengan sasaran peningkatan jumlah pemilih kritis, misalnya dengan menyebarkan program kerja dan visi-misi masing-masing calon dalam ruang waktu yang cukup dan mudah diakses, dan sebagainya.***

============================================
∗ Makalah dalam diskusi Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dengan tema
“Wajah Demokrasi di Indonesia” di Semarang, 30-31 Maret 2009.
∗∗ Penulis adalah dosen dan peneliti FISIPOL Universitas Wahid Hasyim Semarang.
1 Dengan sangat baik Sutoro Eko menunjukkan kesenjangan dan jebakan sebagai tanda-tanda krisis
demokrasi elektoral-formal di negara kita, yakni: Pertama, kesenjangan antara kekuatan masyarakat
sipil dan pemegang kekuasaan mengenai wacana demokrasi. Kedua, jebakan demokrasi formalprosedural.
Ketiga, jebakan demokrasi elektoral. Keempat, jebakan formalisme dalam mengartikan
kedaulatan rakyat. Kelima, demokrasi tanpa demokrat. Selengkapnya lihat Sutoro Eko dalam
Pradjarta Dirdjosanjata dan Nico L. Kana (eds), Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004,
(Yogyakarta-Salatiga: Pustaka Pelajar dan Percik, 2005).

2 Lihat Andrew Reynolds dan Ben Reilly, The International IDEA Handbook of Electoral System
Design, (Stockholn: IDEA, 2005).
3 Kacung Marijan, Pengantar, dalam Joko J. Prihatmoko, Mendemokratiskan Pemilu – Dari Sistem
sampai Elemen Teknis, (Semarang-Yogyakarta: LP3M Universitas Wahid Hasyim dan Pustaka
Pelajar, 2008).
4 Michael Gallanger dan Paul Mitchell (eds), The Politics of Electoral System, (New York: Oxford
University Press, 2005).
5 Rincian elemen-elemen teknis pemilu meliputi: (1) jenis pencalonan kontestan (stelsel daftar tertutup,
stelsel daftar terbuka), metode pencoblosan (tunggal, pilihan (preferences), multisuara, alternatif, timbunan, pemisahan (splitting), dan dwisistem), pemetaan daerah pemilih (lingkup, besaran,
lapisan), dan metode penghitungan suara (threshold, mayoritas, divisor, kuota).
6 Axel Hadenius, Democracy and Development, (Cambridge: Cambridge University Press, 1992).

7 Dieter Nohlen dan Mirjana Kasapovic, Wahlsystem und Systemwechsel in Osteuropa, (Opladen,
1996). Lihat pula Pipit R. Kartawidjaya dalam Demokratisasi atau Kenapa Demokrasi Itu Buruk,
Wacana, Edisi 18 Tahun VI/2004.
8 Salah satu keberhasilan KPU dalam Pemilu 2004 adalah memetakan daerah pemilihan yang
diumumkan tanggal 26 September 2003. Secara nasional, pemilu DPR dipetakan dalam 69 daerah
pemilihan, pemilu DPRD Provinsi sejumlah 200 daerah pemilihan, dan pemilu DPRD
Kabupaten/Kota sebanyak 1.565 daerah pemilihan.
9 Dipakai dalam Pemilu 2004. Lihat UU No.12/2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
10 Digunakan dalam Pemilu 2004 dan 2009.
11 Digunakan dalam Pemilu 2009 menyusul putusan Mahkamah Konstitusi. Lihat Pasal 214 UU
No.10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
12 Fungsi pemilu terdiri dari fungsi keterwakilan; fungsi integrasi; dan fungsi mayoritas atau
kepemerintahan (governability). Lihat Aurel Croissant, Election Politics in Southeast and East Asia,
(Singapore: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002).

13 Lihat Joko J. Prihatmoko, op cit.
14 Sistem kepartaian sederhana yang dikehendaki tetapi yang terjadi adalah sistem multipartai yang
kompleks.
15 Lihat Joko J. Prihatmoko, op cit.
16 Sebagai pembanding, dari 1.500 anggota DPRD kabupaten/kota se-Provinsi Jawa Tengah, hanya 4
orang atau 0,27 persen anggota DPRD kabupaten/kota yang terpilih berdasarkan BPP. Sisanya yang
mayoritas, 1.496 atau 99,71 persen, terpilih berdasarkan nomor urut daftar calon. Mereka yang
terpilih melaui BPP adalah Wawan Setia Nugraha dan Moh. Zaenuddin (DPRD Kabupaten
Wonogiri), Moh. Hartomi Wibowo dan HM. Dasum (DPRD Kabupaten Blora).

17 Partai-partai kecil memiliki wakil dalam jumlah tidak besar yang menyebabkan lembaga legislatif
tidak efektif dalam menjalankan fungsi. Dalam konteks itu, hubungan wakil dengan terwakil
memang dekat disebabkan oleh kemampuan calon atau orang yang mendukung calon mengerahkan
berbagai sumberdaya ().
18 Lihat Syamsuddin Haris (ed), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai – Proses Nominasi dan
Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta; Gramedia, 2005). Lihat pula Pradjarta Dirdjosanjata dan Nico L. Kana (eds), Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004, (Yogyakarta-Salatiga: Pustaka
Pelajar dan Percik, 2005).
19 Lihat Joko J. Prihatmoko, op cit.
20 Sutoro Eko, op cit.
21 Sutoro Eko, op cit.

22 Lihat Firmanzah, Marketing Politik – Antara Pemahaman dan Realitas, (Jakarta: YOI, 2007).
23 Mobilisasi pemilih terlihat dalam kampanye-kampanye dengan pertemuan-pertemuan dan rapatrapat
akbar. Mereka yang termobilisasi umumnya adalah pemilih yang masuk kategori ideology
oriented.

24 Pasal 67 ayat (1) UU No. 12/2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD mengandung
contradictio in terminis.
25 Organisasi massa seharusnya menolak dirinya ditempatkan sebagai sarana mobilisasi dukungan.
26 Baik pada saat konsolidasi maupun masa kampanye.

27 Lihat Pasal 8-10 UU No.22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
28 Waktu itu belum terbentuk UU Penyelenggara Pemilu sehingga KPU mengatur dirinya sendiri,
termasuk mengatur hubungannya dengan Panitia Pengawas Pemilu.
29 Pasal 4 ayat (2) UU No.10/2008 menyebut tahapan-tahapan pemilu sebagai berikut (a) pemutakhiran
data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; (b) pendaftaran peserta pemilu; (c) penetapan peserta
pemilu; (d) penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; (e) pencalonan anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; (f) masa kampanye; (g) masa tenang; (h)
pemungutan dan penghitungan suara; (i) penetapan hasil pemilu; dan (j) pengucapan sumpah/janji
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

BE A LEADER (Menjadi Seorang Pemimpin)

Posted By Kang Oyot On 08.18 0 komentar
MENJADI SEORANG PEMIMPIN
(Be a Leader)

Oleh :
Margaretha Y tefa
Lita Normalasari S

KATA PENGANTAR

Selama beberapa hari penulis telah membaca ± 20-an buku mengenai pemimpin dan kepemimpinan. Dari semua buku yang telah penulis baca terdapat bermacam-macam karakteristik dari seorang pemimpin dan makna dari sebuah kepemimpinan. Tapi semua itu pada dasarnya sama, karena untuk menjadi seorang pemimpin yang mempunyai sifat kepemimpinan, pertama-tama yang harus dilakukan adalah menjadi pemimpin bagi diri sendiri.

Dengan mempelajari dan memahami mengenai kepemimpinan, penulis menemukan bahwa perjalanan ke dalam diri dan menemukan jati diri kita yang sesungguhnya adalah perjalanan yang indah dan mengasyikkan. Dan apa pun yang kita butuhkan untuk bahagia dapat kita temukan didalam diri kita sendiri.
Untuk itu penulis membuat satu kesimpulan dari seluruh buku yang telah dibaca. Dan kesimpulan tersebut dijadikan sebuah makalah yang berjudul “ Be A Leader”.

Penulis berharap makalah ini dapat menjadi sumbangan tersendiri kepada seluruh pembaca dan menjawab semua pertanyaan penting dalam hidup ini, yaitu “Siapakah Anda?”, “ Mengapa Anda ada disini?” dan “Untuk apakah hidup ini?”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum mencapai kesempurnaan, karena kritik dan saran dari Dosen pengajar maupun pembaca sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini membawa manfaat dan dapat membantu para pembaca untuk menambah serta meningkatkan ilmu dan pengetahuan.

Surabaya, April 2008

Penulis


PENDAHULUAN

Setiap orang pada dasarnya adalah seorang pemimpin. Menjadi pemimpin adalah fitrah setiap manusia. Namun karena satu dan lain hal, fitrah ini menjadi tersembunyi, tercemar bahkan mungkin telah lama hilang. Akibatnya, banyak orang yang merasa dirinya bukan pemimpin. Mereka telah lama menyerahkan kendali hidupnya pada orang lain dan lingkungan disekitarnya. Mereka perlu “dibangunkan” dan “disadarkan” akan besarnya potensi yang mereka miliki.

Untuk membangunkan mereka sebenarnya tidak terlalu sulit. Anda hanya perlu memperkenalkan satu kata kunci kepada mereka. Kata ajaib tersebut adalah “choice” yang berarti “pilihan”. Kata ini mengandung makna yang sangat dramatis. Siapa pun anda, apa pun pekerjaan anda, begitu anda sadar bahwa anda mempunyai pilihan, seketika itu juga anda akan memegang kendali hidup anda. Begitu anda menyadari makna yang dikandung oleh kata “pilihan”, anda akan langsung berubah menjadi seorang pemimpin.

Namun menemukan kekuatan “pilihan”, sebenarnya barulah merupakan langkah awal untuk menjadi seorang pemimpin. Langkah berikutnya adalah menyadari bahwa setiap pilihan yang anda ambil senantiasa memiliki konsekuensi yang –sayangnya- tidak dapat anda atur. Konsekuensi ini diatur oleh sesuatu yang berada diluar kita, yaitu hukum alam. Kepemimpinan pada hakikatnya adalah mengambil pilihan dan konsekuensinya sekaligus. Kita tidak dapat memisahkannya karena keduanya berada dalam satu paket. Sikap menerima konsekuensi inilah yang disebut tanggungjawab (responsibility). Inilah hakikat kepemimpinan yang sebenarnya. Kepemimpinan sama sekali tidak ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti yang biasanya kita kenal dalam dunia politik. Kemimpinan adalah perjalanan ke dalam diri anda sendiri untuk menumbuhkan kekuatan pilihan dan tanggungjawab. Semuanya di dasarkan pada pemahaman yang benar terhadap hukum alam.

Hakikatnya manusia tidak hanya menjadi sekadar makhluk yang berdimensi fisik tapi juga memiliki dimensi lainnya seperti sosial emosional, mental dan spiritual. Ketiga dimensi yang terakhir itu hanya dapat didekati dengan kepemimpinan (leadership). Jadi pendekatan kepemimpinan adalah mengubah manusianya supaya tidak mencuri, merampok dan memasuki ruamah orang lain tanpa ijin. Dalam pendekatan kepemimpinan menghasilkan hal-hal seperti : kejujuran (honesty), integritas (Integrity), kepercayaan (trust), komitmen (commitment), tanggungjawab (responsibility), kematangan (maturity), kebersamaan (togetherness), motivasi (motivation), pemberdayaan (empowerment), rasa memiliki (sense of belonging – sense of ownship), dan sebagainya.


LEADER !!!

Siapakah yang disebut pemimpin? Apa pula yang dimaksud dengan kepemimpinan? Pertanyaan seperti ini sering membuat orang berpikir dan merenungkan makna kata ini secara lebih mendalam. Memahami kepemimpinan secara benar sangat penting karena disinilah hakikat kemanusiaan kita berada.
Anda sendiri adalah pemimpin. Setiap manusia dilahirkan sebagai pemimpin. Kepemimpinan merupakan fitrah kita sebagai manusia. Kepemimpinan adalah suatu amanah yang diberikan Tuhan yang suatu ketika harus kita pertanggung jawabkan. Leadership is an action, not a position. Karena itu siapapun anda, dimanapun anda berada, dan apa pun jabatan anda, anda adalah pemimpin, minimal memimpin diri anda sendiri.

Kepemimpinan bukanlah semata-mata persoalan memimpin negara, perusahaan, organisasi maupn partai politik. Kepemimpinan adalah mengenai kita sendiri. Kepemimpinan adalah perilaku kitasehari-hari. Kepemimpinan berkaitan dengan hal-hal sederhana seperti berbakti pada orang tua,tidak berbohong, mengunjungi kawan yang sakit, bersilahturahmi dengan tetangga, mendengarkan keluh kesah seorang sahabat maupun mengemudikan kendaraan di tengah kemacetan lalu lintas.

Untuk menumbuhkan kepemimpinan, ada 3 hal yang perlu anda lakukan :
a. Menyadari bahwa nasib berada ditangan anda sendiri. Andalah yang merupakan sutradara terhadap kehidupan anda. Tuhan tidak akan mengubah nasib anda kalau anda sendiri tidak berusaha mengubahnya.
b. Sebagai sutradara, anda harus menuliskan skenario hidup anda. Andalah yang paling tahu apa yang penting dan apa yang tidak penting dalam hidup anda. Disini anda harus memutuskan nilai-nilai yang anda akan jalani dalam hidup.
c. Menulis skenario saja tidak cukup. Anda harus menjalankan skenario anda tersebut. Untuk itu anda hanya akan melakukan hal-hal yang penting. Inilah hal-hal yang sudah anda putuskan sebagai nilai-nilai anda.

Dengan melakukan ketiga hal tersebut anda akan mampu memimpin diri anda sendiri. Hal ini adalah sebuah tindakan yang sangat strategis. Seperti kata Kung Fu, “Memimpin diri sendiri adalah prasyarat sebelum kita dapat memimpin orang lain”. Ini merupakan suatu tahapan dan proses yang tidak bisa dibalik.


WAKE UP !!!

Setiap orang dapat mengatur dirinya sendiri. Sayangnya, banyak orang yang tidak sadar. Mereka sedang tertidur, mungkin sepanjang hidupnya. Karena itu tugas kita adalah “membanggunkan” mereka. Untuk menjadi sadar ada 3 (tiga) hal yang perlu anda lakukan, yaitu :
1. Memahami Diri (Self Understanding)
Ini adalah memahami diri anda sendiri. Untuk menjadi pemimpin anda harus sadar siapakah diri anda sebenarnya. Ini seperti yang dikatakan Socrates, “kenalilah dirimu” dan Nabi Muhammad SAW melanjutkan pernyataan tersebut dengan mengatakan, “siapa yang mengenali dirinya akan mengenali Tuhannya”. Mengenal diri sendiri adalah dasar dari kecerdasan spiritual (SQ).
Untuk itu kita perlu memikirkan pertanyaan-pertanyaan mendasar : siapakah kita, untuk apa kita hidup, darimana kita berasal dan kemana kita akan pergi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kita jawab agar kita dapat menghayati kehidupan yang lebih bermakna. Tanpa mengenali diri kita dengan benar, sulit untuk menemukan makna kehidupan. Kehidupan yang sangat maju dalam dimensi fisik justru sering menimbulkan kekosongan jiwa. Di negara-negara maju seperti Jepang, Denmark, Swedia dan Norwegia banyak terjadi kasus bunuh diri. Tiadanya makna hidup membuat orang menjadi sangat rentan terhadap penderitaan. Hidup bukanlah sebuah perjalanan menanjak atau meningkat. Hidup adalah sebuah perjalnan melingkar. Kita memulai perjalanan dari 1 titik dan suatu ketika tanpa disadari kita akan tiba kembali di titik semula. Setiap orang mempunyai lingkaran yang berbeda-beda besarnya
2. Kesadaran Diri (Self Awareness)
Hal ini berarti sadar akan perasaan anda sendiri. Untuk menjadi pemimpin anda harus memiliki Emotional Literacy. Anda harus “melek emosi”. Anda harus dapat mengenali dan mengidentifikasi perasaan apapun yang sedang anda rasakan. Ini adalah dasar dari kecerdasan emosi (EQ). Untuk mengenali perasaan yang terdalam, kita perlu senantiasa memisahkan diri kita dengan emosi yang kita rasakan. Kita bukanlah emosi-emosi kita. Kita adalah kita. Kita tidak berubah, sebaliknya emosi berubah setiap saat. Kita laksana langit, sementara emosi adalah awan yang datang silih berganti. Pemahaman semacam ini menyadarkan kita bahwa kita sebenarnya lebih kuat daripada emosi kita. Kita dapat mengatur emosi, bukannya sebaliknya. Kesadaran diri dengan demikian mengatakan bahwa kitalah yang bertanggungjawab terhadap perasaan kita sendiri.
3. Penguasaan Diri (Self Control)
Ini berarti sadar sepenuhnya akan apa yang anda lakukan. Ini adalah hasil dari kecerdasan emosi (EQ) yang tinggi. Seorang pemimpin menyadari bahwa ia tidak dapat mengontrol stimulus yang masuk, tetapi ia selalu dapat mengontrol respon yang ia berikan. Dengan demikian ia tidak membiarkan perasaan dan emosinya mengendalikan keputusannya.

Pengendalian diri baru dapat terlihat pada situasi yang sulit dan melibatkan emosi. Para ahli menemukan bahwa marah merupakan suasana hati yang paling sulit dikendalikan. Pada saat kita marah, pikiran kita dipenuhi oleh pembenaran diri dan argumen-argumen yang amat meyakinkan kita agar melampiaskan amarah. Bahkan berbeda dengan kesedihan, amarah menimbulkan semangat, bahkan menggairahkan. Karena itu kalau ingin tahu kualitas kepemimpinan anda, lihatlah apa yang anda lakukan saat marah. Kemampuan melakukan jeda dengan berbagai macam teknik merupakan kunci kepemimpinan anda. Pengendalian diri juga ditunjukkan oleh keberanian seseorang untuk membuat komitmen dan melaksanakan komitmen tersebut. Hal-hal besar sering kali berawal dari komitmen-komitmen kecil, karena itu sebelum membuat komitmen untuk orang banyak, latihlah diri anda dengan membuat komitmen-komitmen yang sederhana. Kepemimpinan akan muncul begitu anda mampu menjalankan komitmen tersebut dan menaklukan diri anda.


10 (SEPULUH.....)

A. 10 Pesan untuk Pemimpin
1. Kelilingi kita dengan orang-orang yang selalu berpikir positif, karena keyakinan, nilai dan perilaku mereka akan berpengaruh. Sangat penting kita meluangkan waktu terutama dengan mereka yang optimis dan memiliki motivasi yang tinggi.
2. Belajarlah dari kesalahan yang pernah kita perbuat. Senantiasalah kita sadari bahwa segala nilai, besar atau kecil, dibentuk dari akumulasi kebijakan. Untuk menjadi bijak kita harus berpengalaman, baik pengalaman benar/salah, hingga kita pun mampu menjadi lebih kuat dan lebih cerdik dari masa yang akan datang. Kesalahan akan sangat bermanfaat apabila kita belajar darinya, milikilah perilaku ini sehingga kita tak akan merasa malu mencoba apapun.
3. Waktu memang merupakan sesuatu yang tidak mampu kita beli berapapun harganya, bila ia telah lewat. Sering kali pula kita merasa kekurangan waktu. Tambahkanlah waktu kerja efektif kita setengah jam saja setiap hari pada awal dan setelah akhir jam kerja, maka dalam setahun akan berjumlah lebih dari 300 jam kerja.
4. Sedikit demi sedikit, lama kelamaan menjadi bukit. Perjalanan seribu mil dimulai dengan langkah pertama. Lakukanlah langkah kecil sekarang juga.
5. Kaji seawal mungkin apa-apa yang diperkirakan bakal jadi hambatan, gangguan/tantangan/ketidaktentuan. Apa yang diperkirakan bakal menjadi faktor negatif, kekurangan dukungan, pengetahuan teknis, waktu, ruangan, energi, uang atau kekurangan pengalaman. Semuanya akan membuat tugas kita menjadi sangat sulit. Tangani sedini mungkin, sehingga kita merasa sangat positif dan peluang keberhasilan tampak lebih terang. Dengan itu kita akan mampu menyelami lautan tugas kita dengan menyenangkan.
6. Siapkan selalu rencana cadangan kendati kita yakin rencana utama kita sudah sedemikian baiknya. Pikirkan kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi. Membuat rencana cadangan akan semakin membuat kita tenang dalam menjalankan rencana utama.
7. Tentukan tujuan yang mampu merangsang dan menggerakkan inspirasi kita. Rumuskan tujuan kita sedemikian rupa hingga orang lain yakin dan percaya, sekaligus memberi tantangan kepada kita.
8. Tanamkan selalu niat yang positif dalam setiap tugas yang kita pikul. Jika terpaksa harus mengerjakan tugas yang tidak kita sukai, yakinkanlah diri kita bahwa dengan melaksanakan tugas ini kita akan menyelamatkan perusahaan.
9. Pastikan bahwa kita memiliki keyakinan yang mendalam untuk mencapai tujuan kita. Istirahatlah sejenak, tarik nafas dalam-dalam, tambahkan lagi keyakinan diri dan rasa aman. Mulailah kembali untuk merencanakan tujuan.
10. Jangan lupa untuk menuliskan dengan jelas apapun, kapanpun dan dimnanpun gagasan baik yang terlintas dalam pikiran kita. Terkadang kita sering kehilangan gagasan yang brilian hanya karena kita lupa mencatatnya ketika tiba-tiba gagasan itu muncul. Tidak jarang gagasan yang tiba-tiba muncul justru merupakan kunci sukses untuk mencapai tujuan.

B. 10 Watak Pemimpin
Anda semua adalah pemimpin. Sebagai pemimpin, anda dituntut untuk memiliki karakteristik-karakteristik khusus disamping begitu banyak sifat-sifat yang sudah kita ketahui bersama. Hasil dari suatu penelitian, 10 watak yang paling dikagumi dari seorang pemimpin adalah sebagai berikut :

1. Jujur (Honest)
2. Kompeten (Competent)
3. Melihat ke depan (Forward-Looking)
4. Selalu memicu inspirasi (Inspiring)
5. Pandai, Cerdas (Intelegent)
6. Objektif, berlaku adil (Fairminded)
7. Berwawasan luas (Boardminded)
8. Berani mengambil resiko (Courageous)
9. Tidak basa-basi, langsung pada persoalan (Straight Forward)
10. Penuh Imajinasi (Imaginative)

C. 10 Kekuatan
1. Besi itu kuat, tetapi api dapat melelehkannya.
2. Api itu kuat, tetapi air mampu memadamkannya.
3. Air itu kuat, tetapi matahari bisa mengalahkannya.
4. Matahari itu kuat, tetapi awan dapat menghalanginya.
5. Awan itu kuat, tetapi angin mampu memindahkannya.
6. Angin itu kuat, tetapi manusia mampu menahannya.
7. Manusia itu kuat, tetapi ketakutan bisa melemahkannya.
8. Ketakutan itu kuat, tetapi tidur bisa mengatasinya.
9. Tidur itu kuat, tetapi mati ternyata lebih kuat.
10. Tetapi yang terkuat adalah kebaikan, ia tak akan hilang setelah mati.




DAFTAR PUSTAKA

Adair, John. 1990. 21 Hukum Kepemimpinan Sejati. Kogan. Page Elimited. London.
Birch, P. 2001. Kepemimpinan, Dasar- dasar dan Pengembangannya. Erlangga. Jakarta.
Bower, Marvin. 1997. Beyond Leadership. McKinsey & Company Inc.
-------------------. 1998. Beyond Leadership. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Conger, J.A. 1997. Cermin Kepemimpinan. Binarupa Aksara. Jakarta.
Hakim, Rusman. 2001. Not Bosses But Leaders. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Hardjapamekas, E.R. 2000. Mewujudkan Misi Menjadi Aksi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Heim, P, dan Elwood N.C. 2002. Belajar Memimpin “Instant Leadership”. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Kotter, J.P. 1999. What Leaders Really Do (Kepemimpinan & Perubahan). Erlangga. Jakarta.
Maxwell, J.C. 2001. You Are A Leader. Interaksara. Batam.
-----------------. 2004. Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda, Buku Kerja. Interaksana. Batam
Moeljono, D.S, Dr. 2003. 12 Konsep Kepemimpinan “Make Yourself A Leader”. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Padiansyah, Arvan. 2002. Learning To Lead. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Prijosaksono, A, dan Ping Hartono. 2002. Pemimpin Kharismatik. PT Elex Media. Jakarta
Wer, S. 2000. Leadership. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Wirjana, B.R, M.S.W dan Susilo Supardo. 2005. The Will to Lead. CV Andi Offset. Yogyakarta.

MAKALAH PEMILU INDONESIA

Posted By Kang Oyot On 08.14 1 komentar
PENDAHULUAN

Ketika gelombang demokrasi melanda dunia di awal abad ke 19, pembicaraan mengenai perluasan keterlibatan rakyat dalam proses politik semakin penting. Apalagi setelah bubarnya salah satu negara adidaya yaitu Uni Soviet, yang diikuti dengan tercerai berainya persekutuan negara – negara blok Timur, posisi rakyat dalam ikut menentukan kepemimpinan politik kembali mendapat perhatian.
Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut menentukan figure dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka ketika demokrasi mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara.
Pemilu memiliki fungsi utama dalam hal sirkulasi elit yang teratur dan berkesinambungan. Sebuah kepemimpinan yang lama tanpa dibatasi periode tertentu, dapat menjurus pada pada kepemimpinan yang korup dan sewenang – wenang. Banyak contoh dalam sejarah dunia yang memperlihatkan betapa kekuasaan yang absolut, tanpa pergantian elit yang teratur dan berkesinambungan, mengakibatkan daya kontrol melemah dan kekuasaan menjadi korup dan sewenang-wenang.
Tetapi pemilu yang teratur dan berkesinambungan saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa, betapapun otoriternya pasti membutuhkan dukungan rakyat secara formal untuk melegitimasi kekuasaannya. Maka pemilu sering kali dijadikan alat untuk pelegitimasian kekuasaan semata. Cara termudah yang dilakukan adalah mengatur sedemikian rupa teknis penyelenggaraan pemilu agar hasil dari pemilu memberi kemenangan mutlak bagi sang penguasa dan partai politiknya. Pemilu merupakan icon demokrasi yang dapat dengan mudah diselewengkan oleh penguasa otoriter untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya. Maka selain teratur dan berkesinambungan, masalah system atau mekanisme dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang harus diperhatikan.

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah saya panjatkan kehadirat Allah yang maha esa yang selalu melimpahkan karunianya kepada kita semua sehingga kita dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Sejalan dengan dinamika bangsa ini yang masih terus mencari bentuk yang lebih baik untuk menghasilkan generasi cerdas yang berbudi,maka saya membuat makalah ini sesuai dengan pendekatan materi yang diberikan dengan tujuan agar para mahasiswa mampu mengembangkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta mampu bersikap positif kepada sesama manusia, dan ikut serta melestarikan lingkungan alam sebagai ungkapan rasa syukur atas segala anugrah Allah yang maha pemurah. saya telah berusaha menyusun makalah ini sebaik mungkin. Akan tetapi, saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu, kritik da saran dari berbagai pihak untuk perbaikan isi makalah ini agar bisa terwujud dengan lebih baik.




PEMILIHAN UMUM 2009

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata ‘pemilihan’ lebih sering digunakan.Sistem pemilu digunakan adalah asas luber dan jurdil
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara  dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.

PEMILU  DI  INDONESIA

Pengalaman rakyat Indonesia dengan pemilu sudah berusia lebih setengah abad. Pemilu pertama di awal kemerdekaan pada tahun 1955 tercatat dalam sejarah sebagai pemilu multipartai yang demokratis. Peserta pemilu terdiri dari partai politik dan perseorangan, serta diikuti lebih dari 30 kontestan. Hasil pemilu 1955 memberikan cetak biru bagi konfigurasi pengelompokan politik masyarakat yang tercermin dalam konfiguarsi elit. Setelah pemilu 1955, pemilu berikutnya terjadi di era Orde Baru. Kelebihan pemilu-pemilu orde baru keberkalaannya. Penguasa orde baru berhasil menyelenggarakan pemilu secara teratur tiap lima tahun sekali. Tetapi kelemahan mendasarnya adalah pemilu-pemilu orde baru diselenggarakan dengan tidak memenuhi persyaratan sebuah pemilu yang demokratis. Harus diakui bahwa bpartisipasi politik rakyat dalam mengikuti pemilu-pemilu  Orde Baru sangat fantastis. Rata-rata pemilu – pemilu orde baru diikuti oleh lebih dari 80 % pemilih, bahkan nyaris mendekati 90 % pemilih. Sebuah tingkat partisipasi politik yang tidak dijumpai di negaran kampiun demokrasi seperti inggris dan Amerika Serikat. Namun aturan penyelenggaraan pemilu-pemilu tersebut memiliki cacat kronis.

Pertama, tidak ada kompetisi yang sehat dan adil diantara peserta pemilu. Hal itu dilihat dari adanya undang – undang yang membatasi jumlah partai peserta pemilu, yaitu hanya diikuti oleh 3 partai politik. Selain ketiga partai politik tersebut tidak boleh ikut pemilu, bahkan tidak boleh ada partai politik yang terbentuk selain ketiga partai tersebut. (PPP, Golongan Karya, PDIP).

Kedua, tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis, penguasa orde baru menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu. Bahkan pada pemilu 1971, Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat edaran agar pegawai negeri memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah, yang diterjemahkan sebagai loyal pada partai penguasa. Pegawai negeri dilarang terlibat dalam partai politik, tetapi tidak dilarang jika terlibat dalam partai penguasa saat itu.

Ketiga, penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan penyelenggara pemilu tidak terpenuhi  karena pemerintah adalah bagian dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. Dengan demikian besar peluang untuk terjadinya kecurangan dalam mekanisme teknis pemilu, yang tentu saja merugikan peserta pemilu lainnya (selain partai berkuasa).  Sehingga syarat kompetitif yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa  memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik dari pada partai-partai oposisi. Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa selalu menang dengan mayoritas mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara.

PEMILU MASA TRANSISI

Setelah berakhirnya secara formal kekuasaan Orde Baru, Indonesia memasuki periode peralihan dari situasi otoriter ke transisi demokrasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa periode transisi demokrasi umumnya memakan waktu lama, sampai satu atau dua dekade tergantung dari intensitas transisi yang berakibat pada perubahan mendasar dalam sistem politik dan juga sistem ekonomi. Tak terkecuali bagi Indonesia.
Perubahan itu diawali dengan penyelenggaraan pemilu sebagai mekanisme demokratis untuk melakukan sirkulasi elit. Pejabat lama yang tidak dipercaya perlu diganti dengan pejabat baru yang dapat lebih dipercaya dan accountable melalui pemilu yang demokratis. Pemilu yang dilaksanakan pada masa transisi adalah pemilu yang strategis karena merupakan sarana untuk membersihkan elemen otoriterisme dalam kekuasaan secara evolutif. Pemilu masa transisi juga menjadi sarana bagi pemikiran – pemikiran, gagasan – gagasan atau kader – kader baru yang segar dan tidak koruptif  ke dalam lingkar kekuasaan. Jika pemilu masa transisi berhasil melembagakan proses sirkulasi elit secara demokratis, maka situasi transisi akan berubah menuju konsolidasi demokrasi. Sementara jika tidak berhasil, maka ada peluang besar bagi elemen otoriterisme untuk menkonsolidasi diri dan menunggu  kesempatan untuk berkiprah kembali dalam pentas politik.
Oleh karena itu, mengingat arti penting pemilu pada masa transisi, terutama pemilu 2004 yang lalu, maka semua penggerak demokrasi serta warga yang peduli akan tercapainya konsolidasi demokrasi di Indonesia, perlu meneguhkan komitmen untuk menjaga Pemilu 2004 agar dapat menjadi batu loncatan ke arah pemilu selanjutnya yang diharapkan lebih demokratis. Walaupun diakui pula bahwa perangkat UU Pemilu, Partai Politik dan aturan pemilu lainnya yang dihasilkan DPR masih belum sempurna dan mengandung sejumlah  permasalahan. Sebaliknya, tanpa keberhasilan mengawal Pemilu 2004, maka sulit mengharapkan pemilu selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih baik bagi terjadinya sirkulasi elit dan pelembagaan demokrasi.
Berikut  ini nomor urut dan nama parpol pemilu 2009
1.Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA)
2. Partai Kebangkitan Peduli Bangsa (PKPB)
3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (P-PPI)
4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
5. Partai gerakan Indonesia Raya (GERINDRA)
6. Partai Barisan Nasional
7. Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI)
8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
9. Partai Amanat Nasional (PAN)
10. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB)
11. Partai Kedaulatan
12. Partai Persatuan Daerah (PPD)
13. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
14. Partai Pemuda Indonesia
15. Partai Nasionalisme Indonesia-Marhaenisme (PNI-Marhaenisme)
16. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)
17. Partai Karya Perjuangan (PKP)
18. Partai Matahari Bangsa (PMB)
19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
20. Partai Demokrasi Kebangsaan
21. Partai Republika Nusantara (RepublikaN)
22. Partai Pelopor
23. Partai Golongan Karya (Golkar)
24. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
25. Partai Damai Sejahtera (PDS)
26. Partai Nasional Benteng Kemerdekaan Indonesia (PNBKI)
27. Partai Bulan Bintang (PBB)
28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
29. Partai Bintang Reformasi (PBR)
30. Partai Patriot
31. Partai Demokrat (PD)
32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)
33. Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
Dari 34 partai politik tersebut, terdapat 16 parpol lama dan 18 parpol baru yaitu:

Parpol lama
(PAN – PBR – PBB – PDS – PDIP – PDK – PD – Golkar – PKPB – PKPI – PKS – PKB -PNI marhaenisme – P Pelopor – PPDI – PPP)

Parpol baru
(Partai Barnas – PDP – Gerindra – Hanura – PIS – PKP – PKDI – PKNU – P Kedaulatan – PMB – PNBK – P Patriot – PBRN – PPI – PPPI – PPIB – PPD – PRN).


SYARAT PEMILU DEMOKRATIS

Disepakati bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui pemilu. Walau pemilu merupakan sarana demokrasi, tetapi belum tentu mekanisme penyelenggaraannya pun demokratis.
Sebuah pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan.

Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak –
hak politik yang sama  dan dijamin oleh undang – undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat.
Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan kesempatan yang besar pada partai  politik yang berkuasa, sementara kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya

Kedua, pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya pemilihan harus diselenggarakan  secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali. Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang diterimanya pada pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut.

Ketiga, pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun
hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.

Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan  yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.

Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangay menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.

Ada 7 (tujuh) tugas berat Pemilu 2009 menanti anggota KPU yaitu :
  1. Merencanakan program, anggaran serta menetapkan jadwal Pemilu;
  2. Penyesuaian struktur organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU paling lambat 3 bulan sejak pelantikan anggota KPU;
  3. Mempersiapkan pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) paling lambat 5 (lima) bulan setelah pelantikan anggota KPU;
  4. Bersama-sama Bawaslu menyiapkan kode etik, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Bawaslu terbentuk;
  5. Memverifikasi secara administratif dan faktual serta menetapkan peserta Pemilu;
  6. Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih tetap;
  7. Menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan barang dan jasa Pemilu.
Pemilihan Umum 2009 di Indonesia itu membuka mata dunia bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Selain sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Pemilu di Indonesia juga harus melakukan pemilihan terhadap ribuan calon legislatif dan menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Pelaksanaan Pemilihan Umum 2009 di Indonesia itu membuka mata dunia bahwa Islam dan demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Seperti halnya pemerintah Amerika Serikat dan pemantau Pemilu Uni Eropa untuk Indonesia, The Carter Center pun memuji pelaksanaan Pemilu di Indonesia yang jujur, bersih, demokratis dan tenang, Pemilu dilaksanakan secara transparan dan jujur.
Meskipun Pemilu 2009 yang dilaksanakan oleh KPU ini masih banyak kekurangan di sana-sini, sebagaimana dilaporkan dalam temuan-temuan para pemantau Pemilu dari dalam dan luar negeri, namun sejauh kekurangan tersebut tidak signifikan dan tidak terlalu prinsipil maka pujian dan ucapan selamat dari berbagai pihak kepada bangsa Indonesia merupakan cermin dari keberhasilan KPU dan bangsa Indonesia secara umum.



Kesimpulan

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu.Pemilihan Umum 2009 di Indonesia itu membuka mata dunia bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Selain sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Pemilu di Indonesia juga harus melakukan pemilihan terhadap ribuan calon legislatif dan menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.

Saran

Pembahasan makalah ini sangatlah sederhana,secara keseluruhan makalah ini sudah cukup menggambarkan tentang pemilu. Oleh karena itu kepada pembaca makala ini agar kiranya berkenan memperbaiki makalah ini agar lebih menarik dan Interaktif. Sebaiknya bagi para pemilih agar memilih calon legisltif yang jujur dan dapat dipercaya dengan baik,karna dengan itulah Negara kita akan tetap maju di masa yang akan datang .
Jangan sekali-kali memilih calon yang salah, karma akan berakibat fatal bagi Negara kita sendiri .

KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN

Posted By Kang Oyot On 09.32 0 komentar
Oleh: Tono Kartono, S.Pd.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat”; “Sesungguhnya Aku akan mengangkat Adam menjadi Khalifah di muka Bumi”.

Menurut Bachtiar Surin yang dikutif oleh Maman Ukas bahwa “Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk menyampaikan atau memimpin sesuatu”.[1]

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.

B. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi masalahnya sebagai berikut :

a. Hakikat pemimpin

b. Tipe-tipe kepemimpinan

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan.dalam manajemen pendidikan.



C. Tujuan Penulisan Makalah

Sesuai dengan permasalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini diarahkan untuk :

a. Untuk mengetahui hakikat pemimpin

b. Untuk mengetahui tipe-tipe kepemimpinan

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan dalam manajemen pendidikan.



D. Sistematika Penulisan

Sebagai langkah akhir dalam penulisan makalah ini, maka klasifikasi sistematikan penulisannya sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Dibahas tentang tinjauan hakikat pemimpin, tipe-tipe kepemimpinan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan dalam manajemen pendidikan.

Bab III : Merupakan bab terakhir dalam penulisan makalah ini yang berisikan tentang kesimpulan.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN



A. Hakikat Pemimpin

“Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan.”[2]

Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Pada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahan dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Dengan demikian kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggotanya. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan anggota dan juga dapat memberikan pengaruh, dengan kata lain para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengnaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Sehingga terjalin suatu hubungan sosial yang saling berinteraksi antara pemimpin dengan bawahan, yang akhirnya tejadi suatu hubungan timbal balik. Oleh sebab itu bahwa pemimpin diharapakan memiliki kemampuan dalam menjalankan kepemimpinannya, kareana apabila tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan dapat tercapai secara maksimal.

B. Tipe-Tipe Kepemimpinan

Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu permbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal sebagaimana menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :

1. Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.

2. Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.

3. TIpe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.

4. Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.

5. Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.

6. Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikur berkecimpung.[3]

Selanjutnya menurut Kurt Lewin yang dikutif oleh Maman Ukas mengemukakan tipe-tipe kepemimpinan menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Otokratis, pemimpin yang demikian bekerja kerang, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan yang berlaku dengan ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.

2. Demokratis, pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang pelaksanaan tujuannya. Agar setiap anggota turut serta dalam setiap kegiatan-kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.

3. Laissezfaire, pemimpin yang bertipe demikian, segera setelah tujuan diterangkan pada bawahannya, untuk menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya dengan tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, semua pekerjaan itu tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya, sehingga dengan demikian dianggap cukup dapat memberikan kesempatan pada para bawahannya bekerja bebas tanpa kekangan.[4]

Berdasarkan dari pendapat tersebut di atas, bahwa pada kenyataannya tipe kepemimpinan yang otokratis, demokratis, dan laissezfaire, banyak diterapkan oleh para pemimpinnya di dalam berbagai macama organisasi, yang salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Dengan melihat hal tersebut, maka pemimpin di bidang pendidikan diharapkan memiliki tipe kepemimpinan yang sesuai dengan harapan atau tujuan, baik itu harapan dari bawahan, atau dari atasan yang lebih tinggi, posisinya, yang pada akhirnya gaya atau tipe kepemimpinan yang dipakai oleh para pemimpin, terutama dalam bidang pendidikan benar-benar mencerminkan sebagai seorang pemimpinan yang profesional.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pemimpin Dalam Manajemen Pendidikan

Dalam melaksanakan aktivitasnya bahwa pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dikemukakan oleh H. Jodeph Reitz (1981) yang dikutif Nanang Fattah, sebagai berikut :

1. Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan.

2. Harapan dan perilaku atasan.

3. Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.

4. Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.

5. Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.

6. Harapan dan perilaku rekan.[5]

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh factor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.

Selanjutnya peranan seorang pemimpin sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :

1. Sebagai pelaksana (executive)

2. Sebagai perencana (planner)

3. Sebagai seorangahli (expert)

4. Sebagai mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (external group representative)

5. Sebagai mengawasi hubungan antar anggota-anggota kelompok (controller of internal relationship)

6. Bertindak sebagai pemberi gambaran/pujian atau hukuman (purveyor of rewards and punishments)

7. Bentindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)

8. Merupakan bagian dari kelompok (exemplar)

9. Merupakan lambing dari pada kelompok (symbol of the group)

10. Pemegang tanggung jawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual responsibility)

11. Sebagai pencipta/memiliki cita-cita (ideologist)

12. Bertindak sebagai seorang aya (father figure)

13. Sebagai kambing hitam (scape goat).[6]

Berdasarkan dari peranan pemimpin tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan harus memiliki peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa pemimpin memiliki tugas yang embannya, sebagaimana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :

1. Menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keinginan kelompoknya.

2. Dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai.

3. Meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.[7]

Tugas pemimpin tersebut akan berhasil dengan baik apabila setiap pemimpin memahami akan tugas yang harus dilaksanaknya. Oleh sebab itu kepemimpinan akan tampak dalam proses di mana seseorang mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau menguasai pikiran-pikiran, perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain.

Untuk keberhasilan dalam pencapaian suatu tujuan diperlukan seorang pemimpian yang profesional, di mana ia memahami akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin. Di samping itu pemimpin harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN



A. KESIMPULAN

Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.

Tipe-tipe kepemimpinan pada umumnya adalah tipe kepemimpinan pribadi, Tipe kepemimpinan non pribadi, tipe kepemimpinan otoriter, tipe kepemimpinan demokratis, tipe kepemimpinan paternalistis, tipe kepemimpinan menurut bakat. Disamping tipe-tipe kepemimpinan tersebut juga ada pendapat yang mengemukakan menjadi tiga tipe antara lain : Otokratis, Demokratis, dan Laisezfaire. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas pemimpin meliputi ; kepribadian (personality), harapan dan perilaku atasan, karakteristik, kebutuhan tugas, iklim dan kebijakan organisasi, dan harapan dan perilaku rekan. Yang selanjutnya bahwa factor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kesuksesan pemimpin dalam melaksanakan aktivitasnya.


Tugas pemimpin dalam kepemimpinannya meliputi ; menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok, dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai, meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.Pemimpin yang professional adalah pemimpin yang memahami akan tugas dan kewajibannya, serta dapat menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.



B. Saran-saran

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Hendaknya para pemimpin, khususnya pemimpin dalam bidang pendidikan dalam melaksanakan aktivitasnya kepemimpinannya dalam mempengaruhi para bawahannya berdasarkan pada kriteria-kriteria kepemimpinan yang baik.

2. Dalam membuat suatu rencana atau manajemen pendidikan hendaknya para pemimpin memahami keadaan atau kemampuan yang dimiliki oleh para bawahannya, dan dalam pembagian pemberian tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

3. Pemimpin hendaknya memahami betul akan tugasnya sebagai seorang pemimpin.

4. Dalam melaksanakan akvititasnya baik pemimpin ataupun yang dipimpin menjalin suatu hubungan kerjsama yang saling mendukung untuk tercapainya tujuan organisasi atau instnasi.


DAFTAR PUSTAKA



Arief Furchan, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004).
Burhanuddin, Analisis Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, (Malang : Bumi Aksara, 1994).
Dadang Sulaeman dan Sunaryo, Psikologi Pendidikan, (Bandung : IKIP Bandung, 1983).
I.Nyoman Bertha, Filsafat dan Teori Pendidikan, (Bandung : FIP IKIP Bandung, 1983).
M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber-Sumber Benih Kecerdasan, 1981).
Maman Suherman, Pengembangan Sarana Belajar, (Jakarta : Karunia, 1986).
Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999).
Marsetio Donosepoetro, Manajemen dalam Pengertian dan Pendidikan Berpikir, (Surabaya : 1982).
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996).
Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional, (Bandung : Angkasa, 1983).
Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Konteporer, (Bandung : Alfabeta, 2005).
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah (Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995.


[1] Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999) h. 253.
[2] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996) h. 88.
[3] Maman Ukas, Op. cit., h. 261-262.
[4] Ibid, h. 262-263.
[5] Nanag Fattah, Op. cit., h. 102..
[6] M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber-Sumber Benih Kecerdasan, 1981) h. …
[7] Ibid, h. 38-39.

Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik

Posted By Kang Oyot On 10.13 0 komentar
Oleh Dr. Moh. ROQIB, M.Ag

Putus asa, jika tidak dosa mungkin pengamalnya lebih banyak dari berita yang selama ini kita dengar. Bunuh diri berjamaah (bersama keluarga), terjun dari mall, stress, dan mendaulat diri sebagai “pengangguran” adalah wujud kongkritnya. Kemalangan, menimpa bangsa ini hamper merata bersamaan dengan kejayaan yang fantastis dirasakan oleh “segelintir” oknum pejabat yang merangkap sebagai “pedagang” atau oknum pengusaha yang merangkap sebagai “pejabat”. Dagangan dan jabatan silih berganti berfungsi atau secara bersamaan untuk melipat “karunia sumber daya alam” yang melimpah di negeri ini. Dilipat dan digenggam kemudian dipermainkan sesukanya.

Manusia komersial, hedonis, dan kanibal yang dulu sering dibaca dalam komik dan cerita fiktif saat ini menjadi kenyataan yang membuat haru biru kehidupan. Homo homini lupus semakin dekat dan nyata. Cerita Negara yang gemahripah loh jinawe, tata tentrem kerta raharja menjani lamunan dan impian bersama. Memang impian, harapan, dan lamunan –dalam kondisi tertentu—merupakan obat mujarab untuk memberikan lelipur lara agar kita survive dalam hidup, bertahan dalam menghadapi prahara nasional ini.

Pendidikan yang menjadi ujung tombak peningkatan SDM dan kesejahteraan masih menjadi ujung tombok bagi para guru yang mendidik di berbagai lembaga ini. Kemajuan telah dirasakan oleh sebagian kecil guru yang sebagian besarnya mengalami kemacetan. Dari mana kita mengurai benang kusust ini? Mengapa Negara yang kita cintai menjadi seakan menunjukkan kebencian dan murkanya? Bumi memuncratkan lumpur panas, angin menggeliat dengan arah putar zig zag dan cepat, gunung batuk, air muntah meratakan bumi, api melahap pepohonan dan rumah yang tidak bersalah. Ada apa ini ?.
Berbagai pertanyaan tersebut akan dijawab serba singkat dalam makalah ini melalui “kaca” pendidikan dan politik.

Pendidikan Sebagai Soft Power
Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama dibangun di atas pndasi pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah hayalan. Hayalan yang berkembang dalam diri dan memiliki gap yang besar akan membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang kurang memadai jika dibarengi dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan oleh sinetron dan iklan di media cetak dan elektronik akan membuat sebagaian masyarakat menjadi benar-benar gila. Gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya. Bukan hanya rakyat jelata yang terserang penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha, guru, dosen, dan kyai. Trend kegilaan ini bias ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka yang mestinya digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan publik. Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah meraih kejayaan itu.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasab mata tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik adiluhung dan sekaligus mempu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan politik pendidikan bias berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa bermusuhan.

Sekolah Sebagai Alat Politik
Orang Miskin Dilarang Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan. Pendidikan dimaknai sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak.

Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan kemanusiaan.[3] Sekolah bukan lagi mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu direnungkan:

1. Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut. Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak, informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.
2. Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk memajukan peradaban yang berkeadaban.

Politik Keterpaksaan Sekolah
Jika sekolah masih diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi. Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.

Kebebasan memilih pendidikan yang berkualitas tanpa dibebani biaya yang tidak terjangkau adalah salah satu solusi di samping peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang berkualitas harus tersebar di seluruh sudut kehidupan bangsa sehingga muda diakses. Dengan teknologi informasi, upaya ini menjadi lebih mudah untuk direalisasikan.
Untuk memberikan alternatif solusi agar sekolah bisa murah sehingga bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat di antaranya dengan :
1. Pengalokasian dana APBN/APBD 20 persen untuk pendidikan, sehingga tidak hanya menjadi wacana atau dengan menggunakan politik anggaran.[4]
2. Memotong gaji pejabat tinggi yang dialokasikan untuk pendidikan berdasarkan komitmen yang dipaksakan pemerintah.
3. Menarik pajak pendidikan melalui perusahaan-perusahaan besar.
4. Menginvestigasi dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak yang melakukan korupsi atas anggaran pendidikan.
5. Mendorong sektor usaha yang terkait dengan lembaga pendidikan untuk mengalokasikan anggaran yang bisa memanfaatkan secara maksimal oleh institusi pendidikan.
6. Melibatkan media massa terutama untuk memberi liputan yang berani dan tajam mengenai komitmen sejumlah kalangan untuk pendidikan.
7. Membuat standar baru tentang kualitas pendidikan yang tidak saja menyentuh kemampuan dan krativitas siswa melainkan juga ongkos sekolah.
8. Mendorong manajemen lembaga pendidikan secara terbuka dengan melibatkan sejumlah wali murid dan jika perguruan tinggi adalah mahasiswa untuk mendesain kebutuhan lembaga pendidikan.
9. Mendorong kalangan parlemen untuk terlibat aktif dalam penentuan pejabat pendidikan. Pejabat pendidikan bukan urusan internal sekolah melainkan urusan publik.
10. Melakukan penarikan dana langsung ke kalangan masyarakat.

Pendidikan yang Tejangkau dan Berprestasi
Sepuluh alternatif tersebut masih perlu didiskusikan dan dilengkapi.
1. Memotong gaji memberikan kesan pemaksaan. Pemaksaan memberikan efek kurang positif dalam pendidikan. Sebagai alternatif bisa dilakukan sosialisasi zakat profesi dan zakat semua penghasilan yang diperoleh oleh pejabat dan tenaga profesional.
2. Menerapkan konsep bahwa bagi orang yang telah membayar zakat di atas bisa dimasukkan sebagai bagian dari pembayaran pajak. Dengan ikatan spiritual dimungkinkan para pengusaha lebih mudah untuk mengeluarkan dana pendidikan.
3. Melakukan kontrol secara komprehensip dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak yang melakukan korupsi bukan hanya atas anggaran pendidikan tetapi pada semua anggaran.
4. Memanfaatkan dan mendukung pendidikan keluarga (home schooling) dengan optimalisasi peran ibu sebagai pendidikan anak dan generasi muda.[5]
5. Membangun tradisi keilmuan/akademik di setiap lingkungan sosial dan melengkapi sarana atau media pendidikan sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
6. Optimalisasi fungsi masjid dan perpustakaan. Apabila perpustakaan belum ada bisa dimachingkan dengan masjid sekaligus upaya pelengkapan buku-buku yang dibutuihkan dan aktual bagi masyarakat.[6]
7. Membuat kelompok pemikir kependidikan di pusat dan masing-masing daerah yang bertugas memberikan masukan dan antisipasi terhadap problem-problem kependidikan. Hal ini karena problem yang akut akan membutuhkan biaya tinggi dan kemudian akan membebani masyarakat.
8. Mendorong berdirinya sentra-sentra pendidikan masyarakat seperti pesantren dan madrasah diniyah yang biasanya dikelola dengan kesadaran tinggi dan kemandirian.
9. Memilih pejabat yang berpihak dan bukan yang netral. Memilih pejabat atau pimpinan yang berkarakter memihak rakyat dan keadilan.
Terkait dengan pendanaan, selain dana dari sumber yang sudah lazim, sekolah/lembaga pendidikan dapat mengembangkan dana dari donatur (infaq-shadaqah), zakat, dan wakaf (termasuk wakaf media pembelajaran, buku perpustakaan, dan fasilitas masjid). Pendanaan model ini bisa diterapkan khususnya pada madrasah atau sekolah agama apalagi keluhan madrasah yang selama otonomi daerah diibaratkan (Kompas, 11 September 2004: 10) tak lebih dari anak tiri bagi pemerintah daerah dan tak lebih dari anak angkat bagi pemerintah pusat.

Pendidikan yang murah adalah pendidikan yang berprestasi. Prestasi ini bisa kita capai dengan kerja keras, komitmen yang tinggi, dan kerja sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintah. Dukungan politik dan semakin kondusifnya peran politik masyarakat di era reformasi ini prestasi sekolah atau lemabaga pendidikan bisa lebih mudah direalisasikan.

Political Will Pemimpin dan Do’a Khusyu’ Rakyat
Dalam masyarakat paternalistik, pemimpin, pejabat, dan orang tua merupakan panutan yang menentukan. Pemikiran dan wacana yang berkembang hanya akan menjadi agenda jika pemimpin di republik ini tidak merealisasikannya. Kebijakan politik harus segera diambil sebelum negara ini menjadi lebih “menyedihkan”. Harapan terhadap political will ini juga terkait dengan pemimpin informal dan nonformal yang memiliki kemampuan dan kekuatan lebih disbanding rakyat kebanyakan.
Do’a kaum dhu’afa’ akan terkabul jika dilakukan dengan khusyu’ yang berarti disertai dengan ihktiar yang serius dan bergandengan tangan dengan berbagai pihak untuk maju. Pertikaian tidak lagi diagendakan apalagi dilaksanakan, karena waktu tertumpah untuk pendidikan umat dan kemanusiaan. Dengan demikian semoga bencana di negeri ini berganti menjadi kejayaan, baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Wassalam.

[1] Makalah singkat ini disampaikan dalam “Seminar Pendidikan 100 Tahun Kebangkinan Nasional” PC Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Banyumas Tanggal 20 Mei 2008.
[2] Drs. Muhammad Roqib, M.Ag adalah Dosen Jurusan Tarbiyah dan Pembantu Ketua I bidang Akademik Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, sedang mempersiapkan promosi disertasi Program Doktor (S-3) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Sebagai bahan referensi, menarik untuk dibaca buku Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan, dan Pembebasan, (Yogyakarta: Read, 2000).
[4] DIPA yang memasukkan PNBP (seperti SPP) dicurigai sebagai bagian dari politik pendidikan yang didesain pemerintah untuk memenuhi 20 % APBN/APBD.
[5] Terkait dengan peran perempuan dalam pendidikan, baca buku penulis Pendidikan Perempuan (Yogyakarta: Gama Media & STAIN Press, 2003) sedang terkait dengan pemanfaatan budaya dalam pendidikan (home schooling) baca buku penulis Harmoni Dalam Budaya Jawa : Dimensi edukasi dan Keadilan Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & STAIN Press, 2007).
[6] Tentang optimalisasi fungsi masjid, baca buku penulis Menggugat Fungsi Edukasi Masjid (Yogyakarta: Grafindo & STAIN Press, 2005).

Makalah Tentang Model Pembelajaran Kooperatif

Posted By Kang Oyot On 10.10 0 komentar
Bab I
Pendahuluan


A. Latar Belakang

Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Dalam membelajarkan matematika kepada siswa, apabila guru masih menggunakan paradigma pembelajaran lama dalam arti komunikasi dalam pembelajaran matematika cenderung berlangsung satu arah umumnya dari guru ke siswa, guru lebih mendominasi pembelajaran maka pembelajaran cenderung monoton sehingga mengakibatkan peserta didik (siswa) merasa jenuh dan tersiksa. Oleh karena itu dalam membelajarkan matematika kepada siswa, guru hendaknya lebih memilih berbagai variasi pendekatan, strategi, metode yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan pembelajaran yang direncanakan akan tercapai. Perlu diketahui bahwa baik atau tidaknya suatu pemilihan model pembelajaran akan tergantung tujuan pembelajarannya, kesesuaian dengan materi pembelajaran, tingkat perkembangan peserta didik (siswa), kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran serta mengoptimalkan sumber-sumber belajar yang ada.


B. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan para pembaca, khususnya para mahasiswa jurusan matematika, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan Universitas Lampung agar nantinya dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif yang sesuai
dengan tingkat perkembangan siswa dan materi pembelajaran.


Bab II
Model Pembelajaran Kooperatif


A. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Usaha-usaha guru dalam membelajarkan siswa merupakan bagian yang sangat
penting dalam mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan. Oleh karena itu pemilihan berbagai metode, strategi, pendekatan serta teknik pembelajaran merupakan suatu hal yang utama. Menurut Eggen dan Kauchak dalam Wardhani(2005), model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu pembelajaran. Pedoman itu memuat tanggung jawab guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan guru adalah model pembelajaran kooperatif.


Apakah model pembelajaran kooperatif itu? Model pembelajaran kooperatif
merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok.Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah) dan jika memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Nur (2000), semua model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan. Struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan struktur tugas, struktur tujuan serta struktur penghargaan model pembelajaran yang lain.

Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial.


B. Prinsip Dasar Dan Ciri-Ciri Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut Nur (2000), prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut:

1.Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya.

2.Setiap anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa semua anggota

3.kelompok mempunyai tujuan yang sama.

4.Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.

5.Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi.

6.Setiap anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.

7.Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Sedangkan ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
1. Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.

2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender.

3. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu.

Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain.


C. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif

Terdapat 6(enam) langkah dalam model pembelajaran kooperatif.

1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa.
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa.

2. Menyajikan informasi.
Guru menyajikan informasi kepada siswa.

3.Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.
Guru menginformasikan pengelompokan siswa.

4.Membimbing kelompok belajar.
Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa dalam kelompok kelompok belajar.

5. Evaluasi.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan.

6.Memberikan penghargaan.
Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok.

Bab III
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

A. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin (dalam Slavin, 1995) merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif.

Student Team Achievement Divisions (STAD) adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerjanya, jenis kelamin dan suku. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu dengan catatan, saat kuis mereka tidak boleh saling membantu. Tipe pembelajaran inilah yang akan diterapkan dalam pembelajaran matematika.

Model Pembelajaran Koperatif tipe STAD merupakan pendekatan Cooperative Learning yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Guru yang menggunakan STAD mengajukan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu mengunakan presentasi Verbal atau teks.

B. Tahap Pelaksanaan Pembelajaran Model STAD.
1.Persiapan materi dan penerapan siswa dalam kelompok
Sebelum menyajikan guru harus mempersiapkan lembar kegiatan dan lembar jawaban yang akan dipelajarai siswa dalam kelompok-kelomok kooperatif. Kemudian menetapkan siswa dalam kelompok heterogen dengan jumlah maksimal 4 - 6 orang, aturan heterogenitas dapat berdasarkan pada :
a).Kemampuan akademik (pandai, sedang dan rendah)
Yang didapat dari hasil akademik (skor awal) sebelumnya. Perlu diingat pembagian itu harus diseimbangkan sehingga setiap kelompok terdiri dari siswa dengan siswa dengan tingkat prestasi seimbang.
b). Jenis kelamin, latar belakang sosial, kesenangan bawaan/sifat (pendiam dan aktif), dll.
2. Penyajian Materi Pelajaran
a. Pendahuluan
Di sini perlu ditekankan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok dan menginformasikan hal yang penting untuk memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang konsep-konsep yang akan mereka pelajari. Materi pelajaran dipresentasikan oleh guru dengan menggunakan metode pembelajaran. Siswa mengikuti presentasi guru dengan seksama sebagai persiapan untuk mengikuti tes berikutnya
b. Pengembangan
Dilakukan pengembangan materi yang sesuai yang akan dipelajari siswa dalam kelompok. Di sini siswa belajar untuk memahami makna bukan hafalan. Pertanyaan-peranyaan diberikan penjelasan tentang benar atau salah. Jika siswa telah memahami konsep maka dapat beralih kekonsep lain.
c. Praktek terkendali
Praktek terkendali dilakukan dalam menyajikan materi dengan cara menyuruh siswa mengerjakan soal, memanggil siswa secara acak untuk menjawab atau menyelesaikan masalah agar siswa selalu siap dan dalam memberikan tugas jangan menyita waktu lama.
3.Kegiatan kelompok
Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok sebagai bahan yang akan dipelajari siswa. Isi dari LKS selain materi pelajaran juga digunakan untuk melatih kooperatif. Guru memberi bantuan dengan memperjelas perintah, mengulang konsep dan menjawab pertanyaan. Dalam kegiatan kelompok ini, para siswa bersama-sama mendiskusikan masalah yang dihadapi, membandingkan jawaban, atau memperbaiki miskonsepsi. Kelompok diharapkan bekerja sama dengan sebaik-baiknya dan saling membantu dalam memahami materi pelajaran.
4.Evaluasi
Dilakukan selama 45 - 60 menit secara mandiri untuk menunjukkan apa yang telah siswa pelajari selama bekerja dalam kelompok. Setelah kegiatan presentasi guru dan kegiatan kelompok, siswa diberikan tes secara individual. Dalam menjawab tes, siswa tidak diperkenankan saling membantu. Hasil evaluasi digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan sebagai nilai perkembangan kelompok.
5. Penghargaan kelompok
Setiap anggota kelompok diharapkan mencapai skor tes yang tinggi karena skor ini akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan skor rata-rata kelompok. Dari hasil nilai perkembangan, maka penghargaan pada prestasi kelompok diberikan dalam tingkatan penghargaan seperti kelompok baik, hebat dan super.
6.Perhitungan ulang skor awal dan pengubahan kelompok
Satu periode penilaian (3 – 4 minggu) dilakukan perhitungan ulang skor evaluasi sebagai skor awal siswa yang baru. Kemudian dilakukan perubahan kelompok agar siswa dapat bekerja dengan teman yang lain.

C. Materi Matematika yang Relevan dengan STAD.
Materi-materi matematika yang relevan dengan pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) adalah materi-materi yang hanya untuk memahami fakta-fakta, konsep-konsep dasar dan tidak memerlukan penalaran yang tinggidan juga hapalan, misalnya bilangan bulat, himpunan-himpunan, bilangan jam, dll. Dengan penyajian materi yang tepat dan menarik bagi siswa, seperti halnya pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat memaksimalkan proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

D. Keunggulan Model Pembelajaran Tipe STAD
Keunggulan dari metode pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah adanya kerja sama dalam kelompok dan dalam menentukan keberhasilan kelompok ter tergantung keberhasilan individu, sehingga setiap anggota kelompok tidak bisa menggantungkan pada anggota yang lain. Pembelajaran kooperatif tipe STAD menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.



BAB IV
Simpulan dan Saran

A. Simpulan

1. Pembelajaran kooperatif adalah strategi belajar dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda
2. Pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses dalam seting pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat mengubah pembelajaran dari teacher center menjadi student centered.
3. Pada intinya konsep dari model pembelajaran tipe STAD adalah Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut


Saran

1.Diharapkan guru mengenalkan dan melatihkan keterampilan proses dan keterampilam kooperatif sebelum atau selama pembelajaran agar siswa mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta dapat menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut.
2.Agar pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses berorientasi pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat berjalan, sebaiknya guru membuat perencanaan mengajar materi pelajaran, dan menentukan semua konsep-konsep yang akan dikembangkan, dan untuk setiap konsep ditentukan metode atau pendekatan yang akan digunakan serta keterampilan proses yang akan dikembangkan.


DAFTAR PUSTAKA

Ismail. (2003). Media Pembelajaran (Model-model Pembelajaran). Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SLTP.

Sri Wardhani. (2006). Contoh Silabus dan RPP Matematika SMP. Yogyakarta: PPPG Matematika.

Tim PPPG Matematika. (2003). Beberapa Teknik, Model dan Strategi Dalam
Pembelajaran Matematika. Bahan Ajar Diklat di PPPG Matematika, Yogyakarta: PPPG Matematika.

Widowati, Budijastuti. 2001 Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya.